Jangan anggap enteng pendidikan dini.
Riset terbaru yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan negara yang sukses
di pendidikan usia dini akan meraup manfaat dalam jangka panjang. Konsep
pendidikan dini termasuk kategori pendidikan dasar yang kini menjadi
sasaran banyak negara di dunia.
Dalam sebuah konferensi global yang
disponsori DFAT Australia di Jakarta pada Maret lalu, ada sekitar 100
pakar pendidikan dari seluruh dunia dalam konferensi bertajuk ”Learning
for All: Shared Principles for Equitable and Excellent Basic Education
Systems”.
Mereka membahas berbagai isu pendidikan
dasar, terutama kaitan pendidikan dini dengan skor PISA (Programme for
International Student Assessment) yang diselenggarakan kelompok negara
maju Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Dari skor PISA 2015, anak yang mengikuti
pendidikan anak usia dini (PAUD) nilainya lebih tinggi 57 poin—di atas
rata-rata internasional yang 42 poin. Suatu bukti efek dari PAUD
terhadap prestasi siswa. Sayangnya, ada 28 persen siswa di Indonesia
tidak pernah ikut PAUD, jumlah kelima terbanyak di antara negara-negara
lain yang mengikuti tes PISA.
Abai pada PAUD
Menerka efek PAUD terhadap PISA
memerlukan studi yang lebih mendalam agar kita tidak terlalu cepat
menyimpulkan. Menurut studi Bank Dunia, PAUD membuat sang anak ”siap”
bersekolah. Kesiapan ini hanya dapat diperoleh dari pendidikan sebelum
taman kanak-kanak ataupun TK.
Dari hasil PISA, anak yang mengalami
pendidikan dini tersebut posisinya 1,4 tahun di depan dari anak yang
tidak pernah mengenyam pendidikan dini.Selain itu, berdasarkan studi
Brickman dkk (2016), prestasi dan pertumbuhan intelektual anak-anak di
pedesaan yang mengikuti PAUD dalam beberapa jam selama 2 tahun juga
sangat meningkat secara signifikan.
Masalahnya, pendidikan kita selama ini
adalah relatif ”abai” terhadap periode anak balita saat mereka belum
masuk sekolah formal. Baru pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla, pembinaan pendidikan keluarga dan PAUD masuk ke Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Keluarga adalah ”sekolah” bagi anak saat
baru lahir hingga menjelang TK; kebanyakan anak Indonesia justru
langsung masuk SD karena keterbatasan jumlah PAUD, TK, dan keuangan.
Jadi, ada rentang usia hingga 6 tahun di mana sang anak tidak mengalami
pendidikan yang semestinya. Kondisi ini menjadi berisiko, karena
mayoritas pendidikan orangtua adalah masih setingkat SD.
Lebih parah lagi, para orangtua ini
relatif belum siap benar menjadi orangtua karena dulunya tidak memiliki
orangtua yang bisa menjadi panutan. Komplet sudah masalah ketidaksiapan
anak-anak kita ini masuk sekolah formal. Padahal, soal pemahaman
nilai-nilai etika, moral, karakter, dan kejujuran itu dimulai di
keluarga, di saat anak-anak masih belia dan dalam pangkuan
ayah-bundanya.
Kalau kita sekarang sibuk dengan
pendidikan karakter di SD dan seterusnya, itu ibarat menegakkan benang
basah. Karakter anak sudah terbentuk sehingga lebih sulit mengubah.
Masuk PAUD juga bukan jaminan anak
berprestasi di tingkat selanjutnya. Hal ini akibat salah kaprah dalam
seleksi masuk TK dan SD yang sudah menuntut anak menguasai—tidak sekadar
memahami—kompetensi baca, tulis, hitung (calistung). Akibatnya, tak
jarang kita temui PAUD yang sudah mengajarkan materi-materi calistung
secara intensif.
Sekolah yang membahagiakan
Bebaskan anak-anak yang masuk PAUD untuk
bermain bersama teman sebayanya, menjelajahi dunia baru yang ada di
luar rumah keluarganya, dan mengendalikan pikiran dan emosinya secara
baik. Kita bisa belajar dari Singapura yang bahkan mulai mendorong
keberadaan happy schools yang menghapuskan kompetisi nilai dan
menganjurkan kompetensi bekerja sama. Ini diterapkan tidak hanya di
PAUD, tetapi juga sampai perguruan tinggi.
Berbekal Manifesto for Positive
Education, negeri-kota tetangga ini menekankan keseimbangan antara
prestasi akademik dan potensi pertumbuhan anak. Sukses itu dapat diraih
tanpa harus mengorbankan kewarasan jiwa dan raga.
Menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu
Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sekolah
sebaiknya bertujuan membahagiakan anak. Menurut Socrates, bahagia itu
dapat diajarkan di sekolah yang merupakan masyarakat mikrokosmos. Anak
dapat belajar mengenai nilai-nilai etika dan moral, keterampilan, dan
kelakuan ditambah interaksi dengan teman sebayanya. Hubungan sosial
inilah yang menurut Khonghucu menjadi ”sumber” kebahagiaan.
Lebih jauh lagi, Aristoteles menyatakan
kebahagiaan itu tergantung kemampuan anak mengelola karakternya dalam
pertemanan, menerapkan rasa keadilan, dan menjadi warga negara yang
baik. Menurut Johann Pestalozzi yang dikenal sebagai ”bapak pedagogi
modern”, mendidik harus fokus ke anak secara utuh (whole child) agar
dapat mencapai hasil yang lebih jauh dari sekadar prestasi akademik,
tetapi juga pertumbuhan fisik, mental, dan psikologi anak.
Dengan kata lain, kita mendidik tiga
elemen: head (kognitif), heart (emosi), dan hand (fisik). Pemikir
Jepang, Tsunesaburo Makiguchi, menyebutkan bahwa pendidikan dianggap
berhasil kalau mampu membimbing anak menjadi terdidik dalam meraih
kebahagiaannya.
Studi biaya dan manfaat yang dilakukan
oleh Nakajima dkk (2016) menunjukkan yang paling efektif adalah bila
anak masuk kelompok bermain atau PAUD pada usia 3-4 tahun dan lanjut ke
TK pada usia 5-6 tahun. Pengamatan yang lain dari Harry Patrinos dkk
(2016) dan Bank Dunia adalah tidak cukup efektivitas biaya dan efeknya,
tetapi sudah saatnya penyelenggaraan PAUD memperhatikan mutu, yaitu
pendanaan yang cukup, kurikulum yang seimbang, pegawai yang terlatih,
dan digaji dengan baik, serta pendataan yang berkelanjutan agar program
dapat selalu diperbaiki.
Peran pemerintah—pusat dan daerah—serta
masyarakat sama pentingnya dalam memonitor PAUD agar pendidikan ini
tidak sekadar ada, tetapi juga berjalan dengan benar.
Studi yang dilakukan Hasan dkk (2013),
PAUD memiliki efek besar ke anak-anak, terutama mereka yang datang dari
keluarga miskin. Ada lima aspek yang secara nyata naik, yaitu kesehatan
fisik dan jiwa, kompetensi sosial, kematangan emosi, perkembangan bahasa
dan kognitif, serta komunikasi dan pengetahuan umum. Hal ini sesuai
dengan pandangan John Locke, pemikir pendidikan asal Inggris, yang
menyatakan pendidikan harus merangsang pertumbuhan fisik, mental, dan
spiritual anak.
Oleh sebab itu, anak yang disiapkan
dengan baik sebelum masuk ke sistem pendidikan formal mulai SD dan
seterusnya akan tumbuh dan berkembang secara maksimal. Tidak hanya anak
kita akan memiliki skor PISA dan ujian nasional yang tinggi, tetapi juga
pribadi yang terdidik, berkarakter, dan bahagia.
0 komentar:
Post a Comment